Mereka Memanggilku Orang Gila
Segera kulayangkan sebuah pesan untuk memastikan kabar Mas Nanta. Hasil kepanikan setelah melihat akun jejaring sosialnya, facebook, bahkan aku melotot menatapnya sedari tadi. Hatiku berdegup kencang, peluh keringat mulai menderas, tanganku tak henti-hentinya gemetar. Aku menulis kalimat, beberapa kali aku mengeja dan menyuntingnya sehingga benar-benar menjadi pantas. Sebenarnya aku hendak menelepon, tetapi aku takut dengan diriku yang mungkin akan terbata-bata menyapanya.
“Mas, bagaimana kunjungan kerjanya?”
Kupastikan
kembali rincian pesanku, sudah benarkah tertuju untuk “Mas Nanta”,
namanya di kontak ponselku. Sudah terkirimkah? Aku semakin menggila
karena tertulis “menunggu laporan terkirim” pada layar
ponselku, ternyata pesanku tertunda. Akupun mengira-ira penyebab yang
mungkin terjadi dan memang kuharapkan terjadi karena aku takut ia
sengaja mengabaikan pesanku. Mungkin saja ia lupa membawa pengisi
baterai padahal ponselnya sudah kekurangan daya atau jangan-jangan
ponselnya dicopet ketika ia lengah akibat rasa capai dengan
pekerjaannya.
“Ding… Ding ... Ding…”
Lamunanku
terurai ketika jam kuno yang berada di sudut ruang tengah berdentang.
Pikiranku mulai terbagi karena sekarang aku mulai menepikan pikiranku
pada jejak-jejak langkah kami dulu ketika menyusuri kota-kota di Jawa.
Bukan perjalanan biasa kala itu, namun sebuah petualangan yang
menyisakan tangis.
Sebagai istri seorang pegawai seperti Mas
Nanta, aku sudah terbiasa ditinggal hilir mudik. Aku akan menyiapkan
segala keperluannya untuk bermalam di daerah yang berjarak waktu lebih
dini atau lambat. Aku akan merelakannya bertugas di depan pintu rumahku
ini, mencium tangannya sambari berdoa untuk keselamatannya agar
sekembalinya ia masih menjadi suamiku yang manis saat aku mencium
tangannya kembali. Kemudian menanti beberapa waktu di depan rumah,
berharap cemas akan kedatangannya atau sakadar mengintip dari balik
jendela. Memeluk erat tubuhnya ketika ia mulai beranjak dari mobil
miliknya, tak berharap melepasnya meskipun daki di punggungnya mulai
menggunung.
Kali ini terasa berbeda, kunjungan kerjanya terasa
semakin menyiksaku. Aku sangat merindukan suamiku, aku ingin sekali
menyajikan kopi hangat ketika ia mulai suntuk dengan lembaran-lembaran
pekerjaannya, menghidangkan gado-gado kesukaannya ketika ia mulai muak
dengan cacing-cacing lapar diperutnya, mendidihkan air panas untuk mandi
ketika ia pulang kerja dengan muka masam, membelikan obat tetes mata di
warung dekat rumah ketika mata sensitifnya berjibaku dengan debu-debu
kota dan hal yang paling aku senangi adalah ketika aku harus membukakan
pintu rumah saat tengah malam selesai ia lembur kerja.
Aku meluncur di dunia maya kembali, ternyata sudah ada tiga orang yang mengomentari status facebook-nya.
Ungkapan darinya mendapat komentar dari Syuhada Abdil, Haida Syafa, dan
Husain Arifian. Dari ketiga nama itu aku hanya mengenal Syuhada, dia
adalah rekan sejawatku dan Mas Nanta ketika masih SMA. Aku teringat
ketika wajah Mas Nanta babak belur dihajar oleh Bapak dari Syuhada
karena ia mengantar pulang Syuhada dalam keadaan mabuk. Padahal
suamikulah yang membantu Syuhada lepas dari genggaman preman-preman
mabuk yang mencekoki Syuhada dengan minuman keras. Aku tertawa lepas
mengingatnya.
Mataku terbelalak menatap foto yang terpampang pada
akun Haida Syafa. Di sana aku melihat wajah Mas Nanta. Ya benar, setelah
kumiringkan kepalaku sembilan puluh derajat karena foto itu miring, aku
meyakini laki-laki yang berada di samping wanita itu adalah suamiku.
Alis dan hidungnya benar-benar milik seseorang yang selalu ada di
sampingku ketika aku terlelap. Aku lari dan berteriak sekencang mungkin,
tetapi beberapa menit kemudian aku merasakan tubuhku menjadi ringan.
Aku tertidur.
Aku masih mengingat kejadian satu tahun silam. Aku
berkeliling ke pulau Jawa bersama Mas Nanta. Bukan mobil juga bukan
motor alat kendaraan kami, melainkan bus ataupun alat transportasi yang
ada di kota-kota kecil, seperti angkutan, delman dan becak. Sedangkan
untuk beristirahat biasanya kami menyewa hotel, tentunya dengan kamar
yang berbeda karena kami belum menikah saat itu.
Awal perjalanan
kami dimulai dari barat menuju ke timur. Beraneka kebudayaan, tradisi,
kekhasan tiap daerah menjadi suguhan perjalanan kami.
“Inilah kebudayaan daerah, akar dari kebudayaan nasional.”batinku.
Dua
minggu setelah pelarian, ia merasa letih karena tidak tahu akan
berujung sampai kapan. Sedang aku hanya menikmati perjalanan karena aku
merasa senang, tentunya karena ada dia disampingku.
“Kita pulang saja ke Cirebon.” ajak Mas Nanta.
“Tidak.”sahutku menolak ajakan mas Nanta.
“Lalu harus sampai kapan? Sampai kita menjadi gembel?”
“Kita bisa bekerja.”tampikku.
Mas
Nanta membuang mukanya dari hadapanku. Ia beranjak dari tempatnya
berdiri ketika kucoba meraih tangannya. Aku masih saja duduk di bawah
pohon jambu. Hatiku bergulat dengan pikiranku. Kuremas teh bungkus
ditanganku dan aku melemparkannya. Aku menatap tubuh kekarnya, ia
berjalan tanpa menoleh ke arahku. Aku segera menghampirinya.
“Baiklah kita pulang.” ujarku.
Ia
memelukku dengan erat. Aku menghela nafas dan menutup mata, berharap
ketika kubuka aku berada dalam pelukan Ibunya. Kami pulang dengan sejuta
harapan. Di dalam bus aku hanya terdiam dan mendengar cerita Mas Nanta
tanpa menanggapinya. Hatiku tidak karuan.
Keluarga mas Nanta tidak
menyukai kehadiranku dalam perjalanan cintanya, ini dikarenakan latar
belakangku. Aku adalah anak yang terlahir dari keluarga kurang mampu.
Ayahku hanya seorang serabutan, sedang Ibu adalah penjual pisang goreng.
Dari kecil aku sudah diperkenalkan dengan potret kemiskinan di
negeriku. Sejak dalam kandungan aku dibawa Ibu untuk berkeliling mencari
sesuap nasi. Ketika aku lahirpun Ibuku mengajak mengemis di umurku yang
masih enam bulan. Namun aku bukanlah seseorang yang pasrah akan nasib.
Aku berusaha agar mengubah takdir untuk keluargaku. Aku mengenyam bangku
pendidikan hingga jenjang S1 dengan beasiswa. Namun aku menjadi rendah
diri karena orang masih saja mengenangku dengan kemiskinan orang tuaku.
Aku
tidur cukup lama setelah mereka memberiku suntikan. Setidaknya aku
tidak kelelahan karena jika tidak disuntik aku akan terus berlari dan
berteriak. Kutatap tembok kamarku dengan tatapan kosong. Sekarang aku
merasa ada komputer di hadapanku. Aku tersenyum kecil.
Seseorang
mendekat padaku. Ia menyisir rambutku yang acak-acakan. Aku hanya
melihatnya tanpa ekspresi. Aku berhalusinasi, ada suara yang ditangkap
oleh daun telingaku, aku menjerit sambil menutup telingaku. Aku pergi
meninggalkan laki-laki itu, menggapai udara dari dalam saku dan
kudekatkan kepalan jemariku pada telingaku.
“Halo...ya halo.”
Matahari
bersembunyi di balik gedung-gedung pencakar langit. Aku mengakhiri
percakapanku. Sekarang aku sibuk dengan sosok laki-laki yang tergambar
di langit. Aku memperhatikanya dengan senyum merekah. Gambar seseorang
yang baru saja datang menemuiku. Suamiku, ya, dia suamiku. Aku berlari
mencari keberadaanya, ia terlihat sedang berdiri merundukkan kepala dan
menyandarkan punggungnya di dinding. Akhirnya ia pulang.
Aku
menghampiri suamiku dan mencium kedua tangannya penuh rindu. Segera aku
pergi ke sudut ruangan ini. Tanganku mengayun lembut dan kuberikan
secangkir kopi untuknya. Aku menatapnya begitu lama. Tak ada kata yang
keluar untuk mengawali percakapan. Aku menjadi semakin bingung ketika
melihat tangannya tidak memegang cangkir.
Tiba-tiba aku teringat
akan suatu acara pernikahan. Sudut bibirku mengembang, aku merasa
menjadi pengantin dalam ingatanku. Tapi tidak, tidak seperti itu acara
pernikahan dua bulan yang lalu. Aku mencoba mengurutkan dengan rinci
acara tersebut. Ya, sekarang aku mengingatnya. Aku menangis di
pernikahan itu, aku melihat Mas Nanta bersanding dengan wanita lain,
bukan denganku. Terlihat ucapan selamat pernikahan, tertulis namanya
dengan wanita bernama Haida Syafa.
Aku duduk bersila dihadapan Mas
Nanta dan kupandangi setiap jengkal tubuhnya. Ananta Syarif, dia adalah
laki-laki yang amat ku cintai. Seseorang yang memberiku gairah hidup,
dialah orang yang memberikan secerca harapan akan angan-anganku menjadi
seorang menteri sosial. Namun segalanya menjadi runyam ketika aku
dihadapkan pada suatu fakta bahwa orang tuanya tidak merestui hubungan
kami. Sepulangnya dari pelarian, aku dan Mas Nanta mendapat status baru.
Aku menjadi lajang, sedang dia menjadi calon suami wanita pilihan
Ibunya.
Sekarang aku pergi ke dalam kamarku, menatap sebuah
dinding dan jemariku berlagak mengetik. Kumiringkan tubuhku kekiri
melihat gambar Mas Nanta dengan wanita. Mataku terbelalak, detak
jantungku semakin kencang. Aku mendongak melihat cicak yang sedang
kawin, berharap gambar itu hilang setelah perkawinan cicak itu selesai.
Pikiranku
menjadi buyar ketika aku melihat wanita yang sedang menimang-nimang
boneka. Rambutnya sangat kusut tidak enak dipandang, mukanyapun lusuh
seperti ada beban yang menghimpitnya. kupandangi tubuhku di depan
cermin, aku terlihat kurus tidak berisi lagi, wajahkupun terlihat
seperti wanita gila itu. Aku menjadi takut, kucoba mencari Mas Nanta
untuk membendung rasa takutku. Aku mencarinya di setiap sudut bangunan
ini, tetapi aku tidak menemukannya. Mungkin aku terlambat berpamitan
dengannya sebelum ia pergi bekerja. Aku memeluk pilar yang memperkokoh
bangunan ini sambil tertawa lepas melihat gambar-gambar pernikahan Mas
Nanta di langit yang tak berbintang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar