Selasa, 20 Agustus 2013

Cerita Pendek (CERPEN)-Mereka Memanggilku Orang Gila

Mereka Memanggilku Orang Gila

Segera kulayangkan sebuah pesan untuk memastikan kabar Mas Nanta. Hasil kepanikan setelah melihat akun jejaring sosialnya, facebook, bahkan aku melotot menatapnya sedari tadi. Hatiku berdegup kencang, peluh keringat mulai menderas, tanganku tak henti-hentinya gemetar. Aku menulis kalimat, beberapa kali aku mengeja dan menyuntingnya sehingga benar-benar menjadi pantas. Sebenarnya aku hendak menelepon, tetapi aku takut dengan diriku yang mungkin akan terbata-bata menyapanya.
 “Mas, bagaimana kunjungan kerjanya?”
Kupastikan kembali rincian pesanku, sudah benarkah tertuju untuk “Mas Nanta”, namanya di kontak ponselku. Sudah terkirimkah? Aku semakin menggila karena tertulis “menunggu laporan terkirim” pada layar ponselku, ternyata pesanku tertunda. Akupun mengira-ira penyebab yang mungkin terjadi dan memang kuharapkan terjadi karena aku takut ia sengaja mengabaikan pesanku. Mungkin saja ia lupa membawa pengisi baterai padahal ponselnya sudah kekurangan daya atau jangan-jangan ponselnya dicopet ketika ia lengah akibat rasa capai dengan pekerjaannya.
“Ding… Ding ... Ding…”
Lamunanku terurai ketika jam kuno yang berada di sudut ruang tengah berdentang. Pikiranku mulai terbagi karena sekarang aku mulai menepikan pikiranku pada jejak-jejak langkah kami dulu ketika menyusuri kota-kota di Jawa. Bukan perjalanan biasa kala itu, namun sebuah petualangan yang menyisakan tangis.
Sebagai istri seorang pegawai seperti Mas Nanta, aku sudah terbiasa ditinggal hilir mudik. Aku akan menyiapkan segala keperluannya untuk bermalam di daerah yang berjarak waktu lebih dini atau lambat. Aku akan merelakannya bertugas di depan pintu rumahku ini, mencium tangannya sambari berdoa untuk keselamatannya agar sekembalinya ia masih menjadi suamiku yang manis saat aku mencium tangannya kembali. Kemudian menanti beberapa waktu di depan rumah, berharap cemas akan kedatangannya atau sakadar mengintip dari balik jendela. Memeluk erat tubuhnya ketika ia mulai beranjak dari mobil miliknya, tak berharap melepasnya meskipun daki di punggungnya mulai menggunung.
 Kali ini terasa berbeda, kunjungan kerjanya terasa semakin menyiksaku. Aku sangat merindukan suamiku, aku ingin sekali menyajikan kopi hangat ketika ia mulai suntuk dengan lembaran-lembaran pekerjaannya, menghidangkan gado-gado kesukaannya ketika ia mulai muak dengan cacing-cacing lapar diperutnya, mendidihkan air panas untuk mandi ketika ia pulang kerja dengan muka masam, membelikan obat tetes mata di warung dekat rumah ketika mata sensitifnya berjibaku dengan debu-debu kota dan hal yang paling aku senangi adalah  ketika aku harus membukakan pintu rumah saat tengah malam selesai ia lembur kerja.
Aku meluncur di dunia maya kembali, ternyata sudah ada tiga orang yang mengomentari status facebook-nya. Ungkapan darinya mendapat komentar dari Syuhada Abdil, Haida Syafa, dan Husain Arifian. Dari ketiga nama itu aku hanya mengenal Syuhada, dia adalah rekan sejawatku dan Mas Nanta ketika masih SMA. Aku teringat ketika wajah Mas Nanta babak belur dihajar oleh Bapak dari Syuhada karena ia mengantar pulang Syuhada dalam keadaan mabuk. Padahal suamikulah yang membantu Syuhada lepas dari genggaman preman-preman mabuk yang mencekoki Syuhada dengan minuman keras. Aku tertawa lepas mengingatnya.
Mataku terbelalak menatap foto yang terpampang pada akun Haida Syafa. Di sana aku melihat wajah Mas Nanta. Ya benar, setelah kumiringkan kepalaku sembilan puluh derajat karena foto itu miring, aku meyakini laki-laki yang berada di samping wanita itu adalah suamiku. Alis dan hidungnya benar-benar milik seseorang yang selalu ada di sampingku ketika aku terlelap. Aku lari dan berteriak sekencang mungkin, tetapi beberapa menit kemudian aku merasakan tubuhku menjadi ringan. Aku tertidur.
Aku masih mengingat kejadian satu tahun silam. Aku berkeliling ke pulau Jawa bersama Mas Nanta. Bukan mobil juga bukan motor alat kendaraan kami, melainkan bus ataupun alat transportasi yang ada di kota-kota kecil, seperti angkutan, delman dan becak. Sedangkan untuk beristirahat biasanya kami menyewa hotel, tentunya dengan kamar yang berbeda karena kami belum menikah saat itu.
Awal perjalanan kami dimulai dari barat menuju ke timur. Beraneka kebudayaan, tradisi, kekhasan tiap daerah menjadi suguhan perjalanan kami.
“Inilah kebudayaan daerah, akar dari kebudayaan nasional.”batinku.
Dua minggu setelah pelarian, ia merasa letih karena tidak tahu akan berujung sampai kapan. Sedang aku hanya menikmati perjalanan karena aku merasa senang, tentunya  karena ada dia disampingku.
“Kita pulang saja ke Cirebon.” ajak Mas Nanta.
“Tidak.”sahutku menolak ajakan mas Nanta.
“Lalu harus sampai kapan? Sampai kita menjadi gembel?”
“Kita bisa bekerja.”tampikku.
Mas Nanta membuang mukanya dari hadapanku. Ia beranjak dari tempatnya berdiri ketika kucoba meraih tangannya. Aku masih saja duduk di bawah pohon jambu. Hatiku bergulat dengan pikiranku. Kuremas teh bungkus ditanganku dan aku melemparkannya. Aku menatap tubuh kekarnya, ia berjalan tanpa menoleh ke arahku. Aku segera menghampirinya.
 “Baiklah kita pulang.” ujarku.
Ia memelukku dengan erat. Aku menghela nafas dan menutup mata, berharap ketika kubuka aku berada dalam pelukan Ibunya. Kami pulang dengan sejuta harapan. Di dalam bus aku hanya terdiam dan mendengar cerita Mas Nanta tanpa menanggapinya. Hatiku tidak karuan.
Keluarga mas Nanta tidak menyukai kehadiranku dalam perjalanan cintanya, ini dikarenakan latar belakangku. Aku adalah anak yang terlahir dari keluarga kurang mampu. Ayahku hanya seorang serabutan, sedang Ibu adalah penjual pisang goreng. Dari kecil aku sudah diperkenalkan dengan potret kemiskinan di negeriku. Sejak dalam kandungan aku dibawa Ibu untuk berkeliling mencari sesuap nasi. Ketika aku lahirpun Ibuku mengajak mengemis di umurku yang masih enam bulan. Namun aku bukanlah seseorang yang pasrah akan nasib. Aku berusaha agar mengubah takdir untuk keluargaku. Aku mengenyam bangku pendidikan hingga jenjang S1 dengan beasiswa. Namun aku menjadi rendah diri karena orang masih saja mengenangku dengan kemiskinan orang tuaku.
Aku tidur cukup lama setelah mereka memberiku suntikan. Setidaknya aku tidak kelelahan karena jika tidak disuntik aku akan terus berlari dan berteriak. Kutatap tembok kamarku dengan tatapan kosong. Sekarang aku merasa ada komputer di hadapanku. Aku tersenyum kecil.
Seseorang mendekat padaku. Ia menyisir rambutku yang acak-acakan. Aku hanya melihatnya tanpa ekspresi. Aku berhalusinasi, ada suara yang ditangkap oleh daun telingaku, aku menjerit sambil menutup telingaku. Aku pergi meninggalkan laki-laki itu, menggapai udara dari dalam saku dan kudekatkan kepalan jemariku pada telingaku.
“Halo...ya halo.”
Matahari bersembunyi di balik gedung-gedung pencakar langit. Aku mengakhiri percakapanku. Sekarang aku sibuk dengan sosok laki-laki yang tergambar di langit. Aku memperhatikanya dengan senyum merekah. Gambar seseorang yang baru saja datang menemuiku. Suamiku, ya, dia suamiku. Aku berlari mencari keberadaanya, ia terlihat sedang berdiri merundukkan kepala dan menyandarkan punggungnya di dinding. Akhirnya ia pulang.
Aku menghampiri suamiku dan mencium kedua tangannya penuh rindu. Segera aku pergi ke sudut ruangan ini. Tanganku mengayun lembut dan kuberikan secangkir kopi untuknya. Aku menatapnya begitu lama. Tak ada kata yang keluar untuk mengawali percakapan. Aku menjadi semakin bingung ketika melihat tangannya tidak memegang cangkir.
Tiba-tiba aku teringat akan suatu acara pernikahan. Sudut bibirku mengembang, aku merasa menjadi pengantin dalam ingatanku. Tapi tidak, tidak seperti itu acara pernikahan dua bulan yang lalu. Aku mencoba mengurutkan dengan rinci acara tersebut. Ya, sekarang aku mengingatnya. Aku menangis di pernikahan itu, aku melihat Mas Nanta bersanding dengan wanita lain, bukan denganku. Terlihat ucapan selamat pernikahan, tertulis namanya dengan wanita bernama Haida Syafa.
Aku duduk bersila dihadapan Mas Nanta dan kupandangi setiap jengkal tubuhnya. Ananta Syarif, dia adalah laki-laki yang amat ku cintai. Seseorang yang memberiku gairah hidup, dialah orang yang memberikan secerca harapan akan angan-anganku menjadi seorang menteri sosial. Namun segalanya menjadi runyam ketika aku dihadapkan pada suatu fakta bahwa orang tuanya tidak merestui hubungan kami. Sepulangnya dari pelarian, aku dan Mas Nanta mendapat status baru. Aku menjadi lajang, sedang dia menjadi calon suami wanita pilihan Ibunya.
Sekarang aku pergi ke dalam kamarku, menatap sebuah dinding dan  jemariku berlagak mengetik. Kumiringkan tubuhku kekiri melihat gambar Mas Nanta dengan wanita. Mataku terbelalak, detak jantungku semakin kencang. Aku mendongak melihat cicak yang sedang kawin, berharap gambar itu hilang setelah perkawinan cicak itu selesai.
Pikiranku menjadi buyar ketika aku melihat wanita yang sedang menimang-nimang boneka. Rambutnya sangat kusut tidak enak dipandang, mukanyapun lusuh seperti ada beban yang menghimpitnya. kupandangi tubuhku di depan cermin, aku terlihat kurus tidak berisi lagi, wajahkupun terlihat seperti wanita gila itu. Aku menjadi takut, kucoba mencari Mas Nanta untuk membendung rasa takutku. Aku mencarinya di setiap sudut bangunan ini, tetapi aku tidak menemukannya. Mungkin aku terlambat berpamitan dengannya sebelum ia pergi bekerja. Aku memeluk pilar yang memperkokoh bangunan ini sambil tertawa lepas melihat gambar-gambar pernikahan Mas Nanta di langit yang tak berbintang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar